KH Hasyim Asy’ari sendiri merupakan anak ketiga dari 11 orang bersaudara. Dari garis keturunan ibu maupun ayahnya, KH Hasyim Asy’ari memiliki garis genealogi dari Sultan Pajang yang terhubung dengan Maharaja Majapahit Brawijaya V. Beliau rahimahullah lahir pada 4 Robiulawwal 1292 H /10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Sejak kecil ia telah belajar agama kepada ayah dan kakeknya -kiyai usman, pengasuh pesantren Gedang di selatan Jombang. Dalam usia 15 tahun, sekitar tahun 1309 H/1891 M, Muhammad Hasyim mengawali belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di Jawa Timur. Karena kecerdasannya, Kyai Hasyim tidak pernah lama belajar di satu pesantren, karena semua mata pelajaran telah tuntas dipelajari dalam waktu tidak sampai satu tahun. Di antara Pondok Pesantren yang pernah disinggahi untuk diserap ilmunya adalah Pondok pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Trenggilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban, dan ke Bangkalan di Madura, yang diasuh Kyai Muhammad Khalil bin Abdul Latif. Setelah menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren selama 5 tahun, akhirnya beliau belajar di pesantren Siwalan, Sono, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kyai Ya’qub, yang dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Setelah menyerap ilmu selama setahun, dalam usia 21 tahun, Kyai Hasyim Asy’ari diambil menantu oleh Kyai Ya’qub dinikahkan dengan puterinya, Nyai Nafisah.
Tidak lama setelah menikah, Kyai Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, beliau kembali ke Tanah Air, setelah istri dan anaknya meninggal dunia. Bulan Syawal 1310 H/ Mei 1892 M, Kyai Hasyim Asy’ari menikah dengan Nyai Chadidjah. Setelah itu beliau berangkat ke Tanah Suci. Beliau menetap di Makkah selama 7 tahun dan berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Mahfudh AtTarmisi, Kyai Shaleh Darat Al-Samarani. Kemudian tepat di Bulan Muharram 1317 H/ Juni 1899 M, Kyai Hasyim Asy’ari kembali ke Tanah Air dan mengajar di Pesanten Gedang, milik kakeknya, Kyai Usman. Bulan Jumadilakhir 1317 H/ Oktober 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng, yang letaknya sekitar 200 meter di sebelah barat Pabrik Gula Cukir, yang telah berdiri sejak tahun 1870.
Saat itu santrinya hanya 8 orang tetapi tiga bulan kemudian menjadi 28 orang. Dalam waktu singkat Kyai Hasyim Asy’ari bukan saja dikenal sebagai kyai ternama, melainkan juga dikenal sebagai petani dan pedagang yang sukses karena memiliki tanah puluhan hektar. Dua hari dalam sepekan, Kyai Hasyim tidak mengajar karena mengurusi sawah-sawah dan kebunnya, bahkan terkadang pergi Surabaya untuk berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Saat ke Surabaya, Kyai Hasyim tidak hanya berdagang melainkan juga mengaji tashawwuf kepada Kyai Abdul Syakur yang mengajarkan kitab Al-Hikam lbnu Atho’illah As-Sukandari.
Kealiman Kyai Hasyim makin masyhur, terutama setelah Kyai Kholil, guru Kyai Hasyim sewaktu belajar di Bangkalan, Madura, mengikuti pengajian beliau dan menyatakan menjadi murid beliau. Ribuan santri pun menimba ilmu kepada Kyai Hasyim, di mana setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri tersebut yang kemudian tampil sebagai ulama terkenal dan tokoh pejuang yang berpengaruh.
Sebagai ulama yang alim, Kyai Hasyim Asy’ari menulis sejumlah kitab dan catatan-catatan, yang sebagian di antaranya adalah: Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama’ah: Fi haditsil mawta wa asyratis sa'ah wa baya mafhumis sunnah wal bid'ah (Paradigma Ahlussunah wal Jama’ah: Pembahasan tentang Orang-orang Mati, Tanda-tanda Zaman, dan Penjelasan tentang Sunnah dan Bid’ah); adabul alim wal muta'alim fi maa yahtaju ilaih al muta'alim fii ahwali ta'alumihi wa maa ta'limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar); At tibyan fi an nahyi 'an muqota' til arhaam wal aqoorib wal ikhwan (Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturrahmi, Tali Persaudaraan dan Tali Persahabatan); Muqaddimat al qonun al asasi lil jami'aat nahdhatul ulama (Mukadimah Anggaran Dasar Jam’iyah Nahdlatul Ulama); Risalah fii ta'kid al akhdzi bi madzhab al aimmah al arba'ah (Mengikuti madzhab para imam empat); Mawaidz (Saat Kongres NU XI tahun 1935 di Bandung, kitab ini diterbitkan secara massal. Prof Buya Hamka harus menterjemah kitab ini untuk diterbitkan di majalah Panji Masyarakat, edisi 15 Agustus 1959); Arba'ina haditsan tata'allaqu bi madabi' jami'aat nahdhatul ulama (berisi 40 hadits pedoman nahdhatul ulama); At tanbihat al wajibat liman yushna al maulid bil munkarat (nasihat dan pedoman yang harus diperhatikan jika memperingati maulid nabi).
Karena pengaruhnya yang sangat kuat, Kyai Hasyim mendapat perhatian khusus dari pemerintah kolonial Belanda, yang berusaha merangkulnya. Namun dengan perlawanan pasif yang disebut “tasabuh”, Kyai Hasyim menolak usaha Belanda tersebut. Maksudnya, Kyai Hasyim tidak saja menolak program-program pemerintah kolonial seperti sekolah, melainkan mengharamkan pula pakaian Belanda seperti jas, dasi, celana, sepatu, topi vilt, bahkan uang gaji dari pemerintah kolonial pun dianggap haram.
Disarikan dari buku Pengabdian Seoranv Kiyai Untuk Negeri. Baso, A et.al. Museum Kebangkitan Nasional KEMENDIKBUD.